Aroma kertas dan suasana tenang khas toko buku langsung menyambut. Saya berkeliling dari satu rak ke rak lainnya, menikmati proses memilih bacaan baru. Di sela-sela itu, mata saya mencari-cari sosok Rafif. Saya melihatnya sekilas, sibuk melayani pengunjung lain. Kami hanya sempat bertukar senyum dan anggukan kecil dari kejauhan—sebuah isyarat universal yang berarti, "Aku lihat kamu, tapi aku paham kamu sedang sibuk."
Saya tidak ingin mengganggunya. Saya paham betul rasanya saat sedang fokus bekerja. Jadi, saya melanjutkan perburuan buku saya dan akhirnya memilih satu untuk dibawa pulang.
Momen uniknya terjadi saat saya melangkah ke meja kasir. Ternyata, yang bertugas di sana adalah Rafif. Di sinilah kami akhirnya bisa bertukar beberapa patah kata. Di antara bunyi pemindai harga dan mesin kasir, kami menyelipkan obrolan singkat.
"Gimana kabarnya?" "Baik, kamu sendiri gimana?"
Hanya beberapa kalimat, namun terasa hangat. Transaksi jual-beli buku itu terasa seperti jeda singkat yang mempertemukan dua dunia kami saat ini. Melihatnya yang begitu cekatan dan profesional dalam pekerjaannya membuat saya ikut senang dan bangga.
Pertemuan kami memang sangat singkat, mungkin tidak lebih dari lima menit. Tapi itu sudah lebih dari cukup. Terkadang, reuni tidak perlu berjam-jam. Sebuah sapaan tulus, senyum yang tulus, dan melihat teman kita bertumbuh di jalannya masing-masing, sudah menjadi sebuah cerita yang indah.
