Menyusuri Jejak Waktu: Obrolan Penuh Makna Bersama Sang Penjaga Adat Desa Panahan


Ada hari-hari yang terasa berjalan begitu saja, namun ada hari di mana kita seolah diajak untuk berhenti sejenak dan menengok ke belakang, menyusuri jejak waktu yang membentuk kita hari ini. Rabu pagi ini, 30 Juli 2025, adalah salah satu hari istimewa itu. Saya mendapatkan sebuah kesempatan yang luar biasa berharga: duduk bersama, saling bercerita, dan menyerap kearifan dari Bpk. Badul (65), Ketua Pengulu Adat di Desa Panahan.

Di bawah langit pagi yang cerah, kami tidak hanya bertukar sapa, tetapi juga menyelami sebuah samudra kenangan. Topik utama kami hari ini adalah tentang akar, tentang asal mula Desa Panahan yang kami cintai ini.

Dari Beberapa Rumah Berpindah, Menjadi Desa yang Bertahan

Dengan tatapan mata yang tajam namun penuh kehangatan, Bpk. Badul mulai berkisah. Sulit membayangkan bahwa desa yang kini ramai dengan denyut kehidupan ini, dulunya hanyalah sekelompok kecil rumah. "Dulu kami hidup berpindah-pindah, mengikuti ke mana alam menuntun," ujarnya. Saya tertegun, mencoba membayangkan kehidupan para leluhur yang harus terus bergerak, mencari lahan baru, membangun tempat bernaung sementara, lalu membongkarnya lagi untuk memulai perjalanan baru.

Kisah tentang bagaimana para pendahulu akhirnya memutuskan untuk menetap di lokasi yang sekarang kita kenal sebagai Desa Panahan adalah bagian yang paling menyentuh. Ada pertimbangan mendalam di baliknya—sebuah keputusan kolektif yang didasari oleh harapan akan masa depan yang lebih menetap dan stabil untuk anak cucu mereka. Di sinilah, di sebidang tanah inilah, mereka menancapkan tonggak pertama dari sebuah peradaban yang terus tumbuh hingga kini.

Nama yang Berubah dan Adat yang Terjaga

Obrolan kami mengalir lebih dalam. Ternyata, nama "Desa Panahan" pun memiliki riwayatnya sendiri. Ada cerita di balik perubahan nama, sebuah penanda zaman yang merefleksikan peristiwa atau harapan komunitas pada masanya. Mendengar ini membuat saya sadar, sebuah nama bukanlah sekadar label administratif, melainkan sebuah prasasti lisan yang menyimpan sejarah.

Kami juga banyak berbicara tentang adat istiadat. Bpk. Badul dengan sabar menjelaskan bagaimana tradisi diwariskan, bagaimana ritual-ritual tertentu menjadi perekat sosial, dan bagaimana adat menjadi kompas moral bagi masyarakat. Di tengah derasnya arus modernisasi, mendengar cerita tentang upaya menjaga adat istiadat ini terasa seperti menemukan oase. Ini adalah jiwa dari desa kami, sesuatu yang membuat Panahan bukan hanya sekadar tempat, tetapi juga sebuah rumah.

Sebuah Refleksi

Satu jam lebih bercerita dengan Bpk. Badul terasa begitu singkat. Setiap kalimatnya adalah potongan puzzle sejarah yang selama ini mungkin hanya saya dengar selintas. Hari ini, saya melihat gambaran utuhnya langsung dari salah satu penjaga ingatan terakhirnya.

Pengalaman ini lebih dari sekadar tanya jawab. Ini adalah sebuah pewarisan ilmu, sebuah pengingat betapa pentingnya untuk mengenal dari mana kita berasal. Bagi saya, ini adalah bagian tak ternilai dari perjalanan TEN PROGRAM—sebuah proses belajar untuk memahami komunitas, menghargai sejarah, dan merawat identitas.

Terima kasih tak terhingga untuk Bpk. Badul atas waktu dan ilmunya. Sebuah pengingat bahwa di balik setiap nama tempat, ada cerita manusia, perjuangan, dan harapan yang tak lekang oleh waktu. 

Baca Juga

2 Komentar

Berkomentarlah tentang apa yang ingin kamu komentar.

Lebih baru Lebih lama